Tuesday, April 6, 2010

Penyusupan Bahasa pada Penyandang Autisme

Apabila melihat bahwa anak-anak autistik memiliki kecerdasan yang bervariasi, bahkan dikatakan bahwa sebagian besar mengalami keterbelakangan mental, terapi dapat disesuaikan dengan kemampuan mereka mencerna pelajaran. Oleh karena itu, sebelum melakukan terapi bahasa, perlu mengetahui intelegensi dan kemungkinan seberapa jauh mereka akan mampu menguasai materi pendidikan serta mengetahui dan mengelola perilaku autistik yang mengganggu.
Masalah yang dimiliki anak-anak penyandang autisme saat mempelajari kata-kata sederhana adalah begitu banyak kalimat mereka memiliki ciri ekolali (membeo/mengulang kata) dan mengapa penggunaan bahasa mereka sering tidak memiliki kreativitas dan daya cipta, dan membatasi diri pada pengulangan kalimat yang telah diucapkan orang lain (Peeters, 2004:66). Namun demikian, bahasa harus menjadi bagian dari diri penyandang autisme. Mereka harus mengenal dan menguasai bahasa agar dapat berinteraksi sosial. Oleh karena itu, pada para austistik masalah pemaknaan dan pemahaman tentang makna benda-benda, kejadian, dan orang lain harus dihadirkan lebih dahulu (Peeters, 2004:19). Selain itu, perlu untuk memahami “lebih dari persepsi literal/tanggapan harfiah” (Peeters, 2004:29). Hal ini disebabkan para penyandang autisme sangat kesulitan untuk memahami sesuatu yang bersifat abstrak. Mereka tidak akan mengerti tentang norma, ketuhanan, dan rasa. Oleh karena itu, lebih mudah menyusupkan pada diri mereka kata-kata yang bersifat konkrit.
Tentu saja penyusupan bahasa pada penyandang autisme tidak langsung dengan mempelajari bahasa berupa kalimat lengkap. Dengan demikian, perlu adanya tahapan-tahapan dalam mengembangkan bahasa. Tahapan-tahapan perkembangan bahasa selalu dimulai dengan kalimat satu kata atau holoprase yang telah mencerminkan suatu hubungan konseptual (Mar’at, 2005:58). Dari segi bahasa tulis, pelekatan bahasa dimulai dengan pengenalan seluruh abjad alfabet. Kemudian berlanjut pada penyukuan yang terdiri atas dua huruf (gabungan huruf vokal dan konsonan). Setelah itu, penggabungan penyukuan atau pengulangan penyukuan yang dikaitkan dengan pemahaman makna benda-benda, kejadian, dan orang lain. Hingga pada akhirnya pengenalan kata dan tanda baca. Begitu tahap berikutnya telah dirambah, tahap sebelumnya tetap dimunculkan kembali. Cara semacam ini dilakukan secara terus-menerus untuk mengetahui daya konsentrasi dan pemahaman penyandang autisme terhadap bahasa.
Merasuknya bahasa pada diri penyandang autisme diawali dengan kontak mata. Kontak mata sangat perlu agar perhatian penyandang autisme terfokus dan mereka mengenal lawan bicara. Dari kontak matalah dapat diketahui kesiapan penyandang autisme untuk dirasuki bahasa dalam bentuk rentetan kata-kata bermakna. Setelah kontak mata, tahap selanjutnya adalah kontak fisik. Lewat sentuhan dan rabaan, penyandang autisme dikenalkan pada benda dan kata, situasi dan kata, atau tempat dan kata. Sentuhan fisik disertai dengan pelafalan kata sangat penting untuk meningkatkan pemahaman penyandang autisme terhadap makna suatu kata.
Kesuksesan bahasa menyusup ke diri penyandang autisme sangat ditentukan oleh kemampuan penyandang autisme tersebut berkonsentrasi. Mempertahankan konsentrasi merupakan latihan terberat bagi penyandang autisme. Konsentrasi bisa dibangun dengan cara menyadarkan mereka pada apa yang harus dikerjakan. Penyadaran ini dapat dilakukan dengan cara memanggil nama mereka secara berulang-ulang dengan suara nyaring, sentuhan, memberikan atau menunjukkan hal-hal atau benda-benda yang disukai, dan pemaksaan.
Hal yang perlu diingat selama proses menjalin terapi bahasa ini adalah tidak menirukan kata-kata penyandang autisme; walaupun sekadar ekolali, karena hal ini bisa memancing amarah dan merusak konsentrasi penyandang autisme. Selain itu, terapi sebaiknya dilakukan secara individual dalam suatu ruang tertutup sehingga perhatiannya tidak mudah terpecah.

No comments:

Post a Comment