Tuesday, April 6, 2010

DEFINISI AUTISME DAN GEJALANYA

Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak, yang gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun.
Penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.
Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang cenderung tidak mempedulikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, seolah menolak berkomunikasi dan berinteraksi, serta seakan hidup dalam dunianya sendiri. Anak autistik juga mengalami kesulitan dalam memahami bahasa dan berkomunikasi secara verbal.
Disamping itu seringkali (prilaku stimulasi diri) seperti berputar-putar, mengepak-ngepakan tangan seperti sayap, berjalan berjinjit dan lain sebagainya.
Gejala autisme sangat bervariasi. Sebagian anak berperilaku hiperaktif dan agresif atau menyakiti diri, tapi ada pula yang pasif. Mereka cenderung sangat sulit mengendalikan emosinya dan sering tempertantrum (menangis dan mengamuk). Kadang-kadang mereka menangis, tertawa atau marah-marah tanpa sebab yang jelas.
Selain berbeda dalam jenis gejalanya, intensitas gejala autisme juga berbeda-beda, dari sangat ringan sampai sangat berat.
Oleh karena banyaknya perbedaan-perbedaan tersebut di antara masing-masing individu, maka saat ini gangguan perkembangan ini lebih sering dikenal sebagai Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autistik (GSA).
Autisme dapat terjadi pada siapa saja, tanpa membedakan warna kulit, status sosial ekonomi maupun pendidikan seseorang. Tidak semua individu ASD/GSA memiliki IQ yang rendah. Sebagian dari mereka dapat mencapai pendidikan di perguruan tinggi. Bahkan ada pula yang memiliki kemampuan luar biasa di bidang tertentu (musik, matematika, menggambar).
Prevalensi autisme menigkat dengan sangat mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Menurut Autism Research Institute di San Diego, jumlah individu autistik pada tahun 1987 diperkirakan 1:5000 anak. Jumlah ini meningkat dengan sangat pesat dan pada tahun 2005 sudah menjadi 1:160 anak. Di Indonesia belum ada data yang akurat oleh karena belum ada pusat registrasi untuk autisme. Namun diperkirakan angka di Indonesia pun mendekati angka di atas. Autisme lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita, dengan perbandingan 4:1

Sejarah AUTIS

• 1908 : Eugen Bleuler, psikiater dari swiss mengklasifikasikan sifat autis pada penderita schizophrenic.
• 1911 : Berdasar temuan tahun 1908, sifat2 tersebut mulai diteliti. dan hasilnya kelainan tersebut diberi nama Autis dari kata auto yang berarti diri sendiri. nama ini diberi oleh penemu pertamanya Eugen Bleuler.
• 1938 – 1943 : Dr. Leo Kanner- john hopkins university, psikiater dari austria, melakukan observasi pada 11 anak yg mengalami kelainan (tidak bisa kontak dgn orang lain)semenjak usia 1.
• 1943 : pertama kalinya autis dideskripsikan sbagai kelainan yang berbeda dgn penyakit serupa lainnya.
• 1944 : Hans Asperger, psikiater dari Vienna menulis artikel berjudul ’autistic psykchopaths’ berdasar temuan2 pada observasi 1938 – 1943.
• Tahun 60-an : autis mulai dimengerti dan mulai dilakukan teatmen pada penderitanya.
• 60-70-an : terbit sebuah buku kontroversial berjudul ’The Empty foretress’ oleh Bruno Bettelheim. buku mendeskripsikan kesalahan ibu yang tidak menmginginkan anaknya lahir sehingga dampak psikologis berdampak pada perkembangan otak anak dan menjadi autis.
• 70-an : pengembangan pengetahuan dengan observasi dan pelaksanaan terapi di swedia. Sekolah autis pertama The Erica Foundation.
• 1971 – 2000 : Penelitian hubungan Thimerazol (bahan pengawet vaksinasi) dengan penyebab autis
• Mulai 80-an : banyak fakta baru autism.
• 2002 : di-simpulkan di California terdapat 9 kasus autis per-harinya
• 2004 : di Amerika menunjukkan, satu di antara 150 anak berusia di bawah 10 tahun atau sekitar 300.000 anak-anak memiliki gejala autis. Dengan perkiraan pertumbuhan sebesar 10-17 persen per tahun.
• 2002 – 2004 : kasus autis meningkat.
• 1971 – 2000 : Penelitian hubungan Thimerazol (bahan pengawet vaksinasi) dengan penyebab autis
• 2004 : diumumkan bahwa Thimerazol dalam vaksinasi tidak berhubungan dengan autism.

Jenis Autisme dan Ciri-cirinya

Secara medis ada beberapa jenis Autisme yang dapat dikenali dari ciri-cirinya. Dan secara umum jenis-jenisnya tersebut adalah sebagai berikut;
1. Autisme Masa kanak ( Childhood Autism )
Autisme Masa Kanak adalah gangguan perkembangan pada anak yang gejalanya sudah tampak sebelum anak tersebut mencapai umur 3 tahun. Perkembangan yang terganggu adalah dalam bidang :
a. Komunikasi : kualitas komunikasinya yang tidak normal, seperti ditunjukkan dibawah ini :
• Perkembangan bicaranya terlambat, atau samasekali tidak berkembang.
• Tidak adanya usaha untuk berkomunikasi dengan gerak atau mimik muka untuk mengatasi kekurangan dalam kemampuan bicara.
• Tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan atau memelihara suatu pembicaraan dua arah yang baik.
• Bahasa yang tidak lazim yang diulang-ulang atau stereotipik.
• Tidak mampu untuk bermain secara imajinatif, biasanya permainannya kurang variatif.
b. Interaksi sosial : adanya gangguan dalam kualitas interaksi social, seperti ditunjukkan dibawah ini :
• Kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan ekspresi fasial, maupun postur dan gerak tubuh, untuk berinteraksi secara layak.
• Kegagalan untuk membina hubungan sosial dengan teman sebaya, dimana mereka bisa berbagi emosi, aktivitas, dan interes bersama.
• Ketidak mampuan untuk berempati, untuk membaca emosi orang lain.
• Ketidak mampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama.
c. Perilaku : aktivitas, perilaku dan interesnya sangat terbatas, diulang-ulang dan stereotipik seperti dibawah ini :
• Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola perilaku yang tidak normal, misalnya duduk dipojok sambil menghamburkan pasir seperti air hujan, yang bisa dilakukannya berjam-jam.
• Adanya suatu kelekatan pada suatu rutin atau ritual yang tidak berguna, misalnya kalau mau tidur harus cuci kaki dulu, sikat gigi, pakai piyama, menggosokkan kaki dikeset, baru naik ketempat tidur. Bila ada satu diatas yang terlewat atau terbalik urutannya, maka ia akan sangat terganggu dan nangis teriak-teriak minta diulang.
• Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, seperti misalnya mengepak-ngepak lengan, menggerak-gerakan jari dengan cara tertentu dan mengetok-ngetokkan sesuatu.
• Adanya preokupasi dengan bagian benda/mainan tertentu yang tak berguna, seperti roda sepeda yang diputar-putar, benda dengan bentuk dan rabaan tertentu yang terus diraba-rabanya, suara-suara tertentu.
Anak-anak ini sering juga menunjukkan emosi yang tak wajar, temper tantrum (ngamuk tak terkendali), tertawa dan menangis tanpa sebab, ada juga rasa takut yang tak wajar.
Kecuali gangguan emosi sering pula anak-anak ini menunjukkan gangguan sensoris, seperti adanya kebutuhan untuk mencium-cium/menggigit-gigit benda, tak suka kalau dipeluk atau dielus.
Autisme Masa Kanak lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 3 : 1.

2. Gangguan Perkembangan Pervasif YTT (PDD-NOS)
PDD-NOS juga mempunyai gejala gangguan perkembangan dalam bidang komunikasi, interaksi maupun perilaku, namun gejalanya tidak sebanyak seperti pada Autisme Masa kanak.
Kualitas dari gangguan tersebut lebih ringan, sehingga kadang-kadang anak-anak ini masih bisa bertatap mata, ekspresi fasial tidak terlalu datar, dan masih bisa diajak bergurau.

3. Sindroma Rett
Sindroma Rett adalah gangguan perkembangan yang hanya dialami oleh anak wanita. Kehamilannya normal, kelahiran normal, perkembangan normal sampai sekitar umur 6 bulan. Lingkaran kepala normal pada saat lahir.
Mulai sekitar umur 6 bulan mereka mulai mengalami kemunduran perkembangan. Pertumbuhan kepala mulai berkurang antara umur 5 bulan sampai 4 tahun. Gerakan tangan menjadi tak terkendali, gerakan yang terarah hilang, disertai dengan gangguan komunikasi dan penarikan diri secara sosial. Gerakan-gerakan otot tampak makin tidak terkoordinasi.Seringkali memasukan tangan kemulut, menepukkan tangan dan membuat gerakan dengan dua tangannya seperti orang sedang mencuci baju.. Hal ini terjadi antara umur 6-30 bulan.
Terjadi gangguan berbahasa, perseptif maupun ekspresif disertai kemunduran psikomotor yang hebat.
Yang sangat khas adalah timbulnya gerakan-gerakan tangan yang terus menerus seperti orang yang sedang mencuci baju yang hanya berhenti bila anak tidur.
Gejala-gejala lain yang sering menyertai adalah gangguan pernafasan, otot-otot yang makin kaku , timbul kejang, scoliosis tulang punggung, pertumbuhan terhambat dan kaki makin mengecil (hypotrophik). Pemeriksaan EEG biasanya menunjukkan kelainan.

4. Disintegrasi Masa Kanak
Pada Gangguan Disintegrasi Masa Kanak, hal yang mencolok adalah bahwa anak tersebut telah berkembang dengan sangat baik selama beberapa tahun, sebelum terjadi kemunduran yang hebat. Gejalanya biasanya timbul setelah umur 3 tahun.
Anak tersebut biasanya sudah bisa bicara dengan sangat lancar, sehingga kemunduran tersebut menjadi sangat dramatis. Bukan saja bicaranya yang mendadak terhenti, tapi juga ia mulai menarik diri dan ketrampilannyapun ikut mundur. Perilakunya menjadi sangat cuek dan juga timbul perilaku berulang-ulang dan stereotipik.
Bila melihat anak tersebut begitu saja , memang gejalanya menjadi sangat mirip dengan autisme.
5. Sindrom Asperger
Seperti pada Autisme Masa Kanak, Sindrom Asperger (SA) juga lebih banyak terdapat pada anak laki-laki daripada wanita.
Anak SA juga mempunyai gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial maupun perilaku, namun tidak separah seperti pada Autisme.
Pada kebanyakan dari anak-anak ini perkembangan bicara tidak terganggu. Bicaranya tepat waktu dan cukup lancar, meskipun ada juga yang bicaranya agak terlambat. Namun meskipun mereka pandai bicara, mereka kurang bisa komunikasi secara timbal balik. Komunikasi biasanya jalannya searah, dimana anak banyak bicara mengenai apa yang saat itu menjadi obsesinya, tanpa bisa merasakan apakah lawan bicaranya merasa tertarik atau tidak. Seringkali mereka mempunyai cara bicara dengan tata bahasa yang baku dan dalam berkomunikasi kurang menggunakan bahasa tubuh. Ekspresi muka pun kurang hidup bila dibanding anak-anak lain seumurnya.
Mereka biasanya terobsesi dengan kuat pada suatu benda/subjek tertentu, seperti mobil, pesawat terbang, atau hal-hal ilmiah lain. Mereka mengetahui dengan sangat detil mengenai hal yang menjadi obsesinya. Obsesi inipun biasanya berganti-ganti.Kebanyakan anak SA cerdas, mempunyai daya ingat yang kuat dan tidak mempunyai kesulitan dalam pelajaran disekolah.
Mereka mempunyai sifat yang kaku, misalnya bila mereka telah mempelajari sesuatu aturan, maka mereka akan menerapkannya secara kaku, dan akan merasa sangat marah bila orang lain melanggar peraturan tersebut. Misalnya : harus berhenti bila lampu lalu lintas kuning, membuang sampah dijalan secara sembarangan.
Dalam interaksi sosial juga mereka mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Mereka lebih tertarik pada buku atau komputer daripada teman. Mereka sulit berempati dan tidak bisa melihat/menginterpretasikan ekspresi wajah orang lain.
Perilakunya kadang-kadang tidak mengikuti norma sosial, memotong pembicaraan orang seenaknya, mengatakan sesuatu tentang seseorang didepan orang tersebut tanpa merasa bersalah (mis. “Ibu, lihat, bapak itu kepalanya botak dan hidungnya besar ”). Kalau diberi tahu bahwa tidak boleh mengatakan begitu, ia akan menjawab : “Tapi itu kan benar Bu.”
Anak SA jarang yang menunjukkan gerakan-gerakan motorik yang aneh seperti mengepak-ngepak atau melompat-lompat atau stimulasi diri.

TERAPI AUTISME

Ada sepuluh macam terapi autime, yaitu:
1. Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai , telah dilakukan penelitian dan didisain khusus untuk anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian). Jenis terapi ini bias diukur kemajuannya. Saat ini terapi inilah yang paling banyak dipakai di Indonesia.

2. Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistic yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang.
Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong.

3. Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot -otot halusnya dengan benar.

4. Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.

5. Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi . Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam ketrampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain. Seorang terqapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara2nya.

6. Terapi Bermain
Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi social. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.

7. Terapi Perilaku.
Anak autistik seringkali merasa frustrasi. Teman-temannya seringkali tidak memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, Mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki perilakunya,

8. Terapi Perkembangan
Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan ketrampilan yang lebih spesifik.

9. Terapi Visual
Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode …………. Dan PECS ( Picture Exchange Communication System). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi.

10. Terapi Biomedik
Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam DAN! (Defeat Autism Now). Banyak dari para perintisnya mempunyai anak autistik. Mereka sangat gigih melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu anak-anak ini diperiksa secara intensif, pemeriksaan, darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari gangguan. Terrnyata lebih banyak anak mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari dalam tubuh sendiri (biomedis).

Penyusupan Bahasa pada Penyandang Autisme

Apabila melihat bahwa anak-anak autistik memiliki kecerdasan yang bervariasi, bahkan dikatakan bahwa sebagian besar mengalami keterbelakangan mental, terapi dapat disesuaikan dengan kemampuan mereka mencerna pelajaran. Oleh karena itu, sebelum melakukan terapi bahasa, perlu mengetahui intelegensi dan kemungkinan seberapa jauh mereka akan mampu menguasai materi pendidikan serta mengetahui dan mengelola perilaku autistik yang mengganggu.
Masalah yang dimiliki anak-anak penyandang autisme saat mempelajari kata-kata sederhana adalah begitu banyak kalimat mereka memiliki ciri ekolali (membeo/mengulang kata) dan mengapa penggunaan bahasa mereka sering tidak memiliki kreativitas dan daya cipta, dan membatasi diri pada pengulangan kalimat yang telah diucapkan orang lain (Peeters, 2004:66). Namun demikian, bahasa harus menjadi bagian dari diri penyandang autisme. Mereka harus mengenal dan menguasai bahasa agar dapat berinteraksi sosial. Oleh karena itu, pada para austistik masalah pemaknaan dan pemahaman tentang makna benda-benda, kejadian, dan orang lain harus dihadirkan lebih dahulu (Peeters, 2004:19). Selain itu, perlu untuk memahami “lebih dari persepsi literal/tanggapan harfiah” (Peeters, 2004:29). Hal ini disebabkan para penyandang autisme sangat kesulitan untuk memahami sesuatu yang bersifat abstrak. Mereka tidak akan mengerti tentang norma, ketuhanan, dan rasa. Oleh karena itu, lebih mudah menyusupkan pada diri mereka kata-kata yang bersifat konkrit.
Tentu saja penyusupan bahasa pada penyandang autisme tidak langsung dengan mempelajari bahasa berupa kalimat lengkap. Dengan demikian, perlu adanya tahapan-tahapan dalam mengembangkan bahasa. Tahapan-tahapan perkembangan bahasa selalu dimulai dengan kalimat satu kata atau holoprase yang telah mencerminkan suatu hubungan konseptual (Mar’at, 2005:58). Dari segi bahasa tulis, pelekatan bahasa dimulai dengan pengenalan seluruh abjad alfabet. Kemudian berlanjut pada penyukuan yang terdiri atas dua huruf (gabungan huruf vokal dan konsonan). Setelah itu, penggabungan penyukuan atau pengulangan penyukuan yang dikaitkan dengan pemahaman makna benda-benda, kejadian, dan orang lain. Hingga pada akhirnya pengenalan kata dan tanda baca. Begitu tahap berikutnya telah dirambah, tahap sebelumnya tetap dimunculkan kembali. Cara semacam ini dilakukan secara terus-menerus untuk mengetahui daya konsentrasi dan pemahaman penyandang autisme terhadap bahasa.
Merasuknya bahasa pada diri penyandang autisme diawali dengan kontak mata. Kontak mata sangat perlu agar perhatian penyandang autisme terfokus dan mereka mengenal lawan bicara. Dari kontak matalah dapat diketahui kesiapan penyandang autisme untuk dirasuki bahasa dalam bentuk rentetan kata-kata bermakna. Setelah kontak mata, tahap selanjutnya adalah kontak fisik. Lewat sentuhan dan rabaan, penyandang autisme dikenalkan pada benda dan kata, situasi dan kata, atau tempat dan kata. Sentuhan fisik disertai dengan pelafalan kata sangat penting untuk meningkatkan pemahaman penyandang autisme terhadap makna suatu kata.
Kesuksesan bahasa menyusup ke diri penyandang autisme sangat ditentukan oleh kemampuan penyandang autisme tersebut berkonsentrasi. Mempertahankan konsentrasi merupakan latihan terberat bagi penyandang autisme. Konsentrasi bisa dibangun dengan cara menyadarkan mereka pada apa yang harus dikerjakan. Penyadaran ini dapat dilakukan dengan cara memanggil nama mereka secara berulang-ulang dengan suara nyaring, sentuhan, memberikan atau menunjukkan hal-hal atau benda-benda yang disukai, dan pemaksaan.
Hal yang perlu diingat selama proses menjalin terapi bahasa ini adalah tidak menirukan kata-kata penyandang autisme; walaupun sekadar ekolali, karena hal ini bisa memancing amarah dan merusak konsentrasi penyandang autisme. Selain itu, terapi sebaiknya dilakukan secara individual dalam suatu ruang tertutup sehingga perhatiannya tidak mudah terpecah.

Kasus Autis danTahitian Noni Juice

Konsentrasinya mulai teratur dan dia mulai fokus dalam menyerap pelajaran di sekolahnya. Bahkan kini Ara, sapaan untuk Aradea, 12 tahun sudah mulai merasakan pubertas pada lawan jenisnya. Perkembangan itulah yang kini dirasakan oleh Ara yang menderita autis sejak usianya 2.2 tahun. “Dia ngefans dengan kecantikan Laudya Chintya Bella,” cerita Rizka Chandra Dewi, Ibunda Ara, 41 tahun. Putra pertama Rizka itu mengalami kesulitan dalam berkomunikasi secara verbal. Sudah berbagai macam cara dilakukan untuk membuatnya kembali normal, namun Allah SWT berkehendak lain.

Selama hampir 10 tahun Rizka berusaha agar Ara berperilaku layaknya anak pada umumnya. Awalnya Ara adalah bayi yang lucu dan sehat, tidak ada tanda-tanda negatif, sampai usianya hampir setahun, Ara tak jua mengeluarkan suara. Rizka sempat khawatir dengan keadaannya. “Gejala itulah yang akhirnya membuat Ara diperiksa secara medis dan dokter mendiagnosa bahwa Ara mengidap Autis,” kata Rizka. Sejak itu Ara menjalani berbagai terapi: mulai dari terapi bicara, juga perilaku sensorik, karena motorik halus dan kasarnya terganggu. Sampai akhirnya Rizka mencoba Tahitian Noni Juice (TNJ) yang ditawarkan kakaknya. “Tujuan awal saya adalah untuk menjaga stamina dan imunitas Ara, karena ia banyak aktifitas, terlebih di sekolah,” ungkap Rizka. Tanpa diduga, baru 4 hari mengkonsumsi TNJ, emosi Ara tidak seperti biasanya. Ara semakin mudah dikontrol. “Hal ini membuat saya bahagia,” cerita Rizka dengan senang. Bahkan Ara semakin fokus terhadap hal-hal yang ia tangkap, seperti bermain piano dan untuk urusan fotografi. “Ara suka motret, terlebih pemandangan alam,” tambah Rizka. Tak ada syukur yang lebih tinggi selain Allah SWT yang telah mengubah kehendakNYA.

http://www.tahitiannoni.com/ridlo

Bahasa dan Autisme

Para penyandang autisme dianggap sudah mampu berbahasa jika sudah bisa diajak berbicara dan mampu menulis. Walaupun apa yang dikatakan atau ditulis itu sebatas hanya memenuhi tuntutan yang ditujukan pada dirinya atau kata-katanya terbatas kata-kata kunci yang dianggap cukup memenuhi keinginan lawan bicaranya.
Memang ada penyandang autisme yang memiliki IQ melebihi anak normal. Bahkan, ada penyandang autis yang menduduki peringkat teratas mengalahkan anak normal di sekolah umum. Ini dikarenakan otak kanan mereka masih normal. Pada anak-anak autistik ini seringkali diharapkan memiliki suatu kepandaian istimewa. Sesungguhnya anak penyandang autisme yang memiliki intelegensi tinggi (IQ lebih dari 70) hanya sekitar sepertiga dari seluruh penyandang autisme. Semakin tinggi intelegensinya dan semakin besar kemampuan komunikasinya maka semakin besar kemungkinannya mengikuti pendidikan umum bersama anak-anak normal. Integrasi semacam itu sangat bermanfaat bagi anak tersebut karena dia banyak memeroleh kesempatan belajar bersosialisasi dengan orang lain. Bagi anak-anak autistik yang memiliki kemampuan intelegensi semakin rendah, dia bisa dipersiapkan untuk mengikuti program pendidikan yang secara prinsip sama dengan anak-anak tunagrahita dengan intelegensi setara. Namun, harus diingat bahwa anak penyandang autisme memiliki keterbatasan atau gangguan lain yang sangat perlu diperhatikan, seperti komunikasi, sosialisasi, gangguan memfokuskan perhatian, ada juga yang hiperaktif, dan sebagainya. Maka selain program yang sesuai dengan tingkat intelegensinya, perlu penyesuaian program dengan gangguan autistiknya dan akhirnya metode pelaksanaan program pun harus disesuaikan. Justru di situlah keunikan pendidikan anak penyandang autisme. Misalnya seorang anak penyandang autisme memiliki IQ 65, tetapi komunikasi hampir tidak ada, dia perlu program khusus dan penanganan terpadu seperti misalnya melibatkan terapis wicara (Hadriami, 2002:152).
Akhirnya sampailah pada suatu simpulan bahwa melalui terapi wicara, kemampuan penyandang autisme bisa digali. Terapi wicara yang merupakan metode pembelajaran bahasa tersebut tidak hanya mengenai belajar bahasa lisan, tetapi juga bahasa tulis. Keberhasilan terapi wicara tampak dari kemampuan penyandang autisme mengemukakan pengetahuan yang telah dicerapnya melalui bahasa lisan atau bahasa tulis.
Berpijak dari uraian di atas, yang perlu diperhatikan dalam menghidupkan bahasa pada penyandang autisme adalah perlunya penanganan yang tepat dan pengenalan gejala autisme sejak dini sehingga para penyandang autisme dapat dibantu menemukan bakat dan kemampuannya agar dapat mandiri menopang kehidupannya di masa yang akan datang. Selain itu, perlu menjalin komunikasi dan interaksi dengan penyandang autisme secara terus-menerus.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam menjalin komunikasi dengan penyandang autisme, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut.
1. Keteraturan melakukan suatu kegiatan berdasar tempat dan waktu yang sama setiap harinya.
2. Menghadirkan benda-benda sebagai alat komunikasi yang dapat dipahami: benda-benda tertentu sebagai penanda suatu kegiatan yang dilakukan.
3. Mengomunikasikan informasi mengenai “di mana” dan “kapan” dengan cara yang mereka mengerti sehingga kita membuat hidup mereka lebih bisa diduga (hanya masalah penyederhanaan sopan santun).
4. Mengusahakan kontak mata sesering mungkin dan memahami kebiasaan dan kebisaannya.
5. Melatih konsentrasi selama mungkin secara terus-menerus.
6. Mengajarkan kata sederhana untuk mengungkapkan suatu maksud secara berulang-ulang.
7. Tega, memaksa, dan tidak mudah terpengaruh oleh penolakan yang dilakukan saat diajak berkomunikasi.
8. Mendorong ekspresi dan penggunaan perasaan serta pendapat.
9. Menumbuhkan kemampuan berpikir logis.
10. Membiasakan bersosialisasi dengan masyarakat dan lingkungan.