Tuesday, April 6, 2010

Bahasa dan Autisme

Para penyandang autisme dianggap sudah mampu berbahasa jika sudah bisa diajak berbicara dan mampu menulis. Walaupun apa yang dikatakan atau ditulis itu sebatas hanya memenuhi tuntutan yang ditujukan pada dirinya atau kata-katanya terbatas kata-kata kunci yang dianggap cukup memenuhi keinginan lawan bicaranya.
Memang ada penyandang autisme yang memiliki IQ melebihi anak normal. Bahkan, ada penyandang autis yang menduduki peringkat teratas mengalahkan anak normal di sekolah umum. Ini dikarenakan otak kanan mereka masih normal. Pada anak-anak autistik ini seringkali diharapkan memiliki suatu kepandaian istimewa. Sesungguhnya anak penyandang autisme yang memiliki intelegensi tinggi (IQ lebih dari 70) hanya sekitar sepertiga dari seluruh penyandang autisme. Semakin tinggi intelegensinya dan semakin besar kemampuan komunikasinya maka semakin besar kemungkinannya mengikuti pendidikan umum bersama anak-anak normal. Integrasi semacam itu sangat bermanfaat bagi anak tersebut karena dia banyak memeroleh kesempatan belajar bersosialisasi dengan orang lain. Bagi anak-anak autistik yang memiliki kemampuan intelegensi semakin rendah, dia bisa dipersiapkan untuk mengikuti program pendidikan yang secara prinsip sama dengan anak-anak tunagrahita dengan intelegensi setara. Namun, harus diingat bahwa anak penyandang autisme memiliki keterbatasan atau gangguan lain yang sangat perlu diperhatikan, seperti komunikasi, sosialisasi, gangguan memfokuskan perhatian, ada juga yang hiperaktif, dan sebagainya. Maka selain program yang sesuai dengan tingkat intelegensinya, perlu penyesuaian program dengan gangguan autistiknya dan akhirnya metode pelaksanaan program pun harus disesuaikan. Justru di situlah keunikan pendidikan anak penyandang autisme. Misalnya seorang anak penyandang autisme memiliki IQ 65, tetapi komunikasi hampir tidak ada, dia perlu program khusus dan penanganan terpadu seperti misalnya melibatkan terapis wicara (Hadriami, 2002:152).
Akhirnya sampailah pada suatu simpulan bahwa melalui terapi wicara, kemampuan penyandang autisme bisa digali. Terapi wicara yang merupakan metode pembelajaran bahasa tersebut tidak hanya mengenai belajar bahasa lisan, tetapi juga bahasa tulis. Keberhasilan terapi wicara tampak dari kemampuan penyandang autisme mengemukakan pengetahuan yang telah dicerapnya melalui bahasa lisan atau bahasa tulis.
Berpijak dari uraian di atas, yang perlu diperhatikan dalam menghidupkan bahasa pada penyandang autisme adalah perlunya penanganan yang tepat dan pengenalan gejala autisme sejak dini sehingga para penyandang autisme dapat dibantu menemukan bakat dan kemampuannya agar dapat mandiri menopang kehidupannya di masa yang akan datang. Selain itu, perlu menjalin komunikasi dan interaksi dengan penyandang autisme secara terus-menerus.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam menjalin komunikasi dengan penyandang autisme, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut.
1. Keteraturan melakukan suatu kegiatan berdasar tempat dan waktu yang sama setiap harinya.
2. Menghadirkan benda-benda sebagai alat komunikasi yang dapat dipahami: benda-benda tertentu sebagai penanda suatu kegiatan yang dilakukan.
3. Mengomunikasikan informasi mengenai “di mana” dan “kapan” dengan cara yang mereka mengerti sehingga kita membuat hidup mereka lebih bisa diduga (hanya masalah penyederhanaan sopan santun).
4. Mengusahakan kontak mata sesering mungkin dan memahami kebiasaan dan kebisaannya.
5. Melatih konsentrasi selama mungkin secara terus-menerus.
6. Mengajarkan kata sederhana untuk mengungkapkan suatu maksud secara berulang-ulang.
7. Tega, memaksa, dan tidak mudah terpengaruh oleh penolakan yang dilakukan saat diajak berkomunikasi.
8. Mendorong ekspresi dan penggunaan perasaan serta pendapat.
9. Menumbuhkan kemampuan berpikir logis.
10. Membiasakan bersosialisasi dengan masyarakat dan lingkungan.

No comments:

Post a Comment